Yang Paling berhak menjadi Imam shalat

Sudah menjadi kejadian umum dan mengakar budaya bahwa yang menjadi imam sholat di masjid-masjid adalah yang paling tua. Kaum muslimin kurang memperhatikan siapa yang paling banyak hafalannya atau yang paling bagus bacaanya. Fenomena lebih memilukan akan kita lihat di masjid-masjid pedesaan, para tetua dan pemuka yang bacaannya sudah sangat jauh dari tajwid (sudah hafalannya dikit, lebih banyak salah membacanya pula), didaulat untuk menjadi imam tetap. Para imam ini susah untuk dinasihati dan sama sekali tidak menghiraukan akan kesalahannya yang tergolong "jali". Seandainya kesalahan bacaan mereka hanya "khafiy" tentu hati ini tidak terlalu sesak. Sahkah sebenarnya orang seperti ini menjadi imam sholat? Mari kita bahas hal-hal berikut ini:

A. Siapa yang Paling Berhak Menjadi Imam?

B. Jenis-jenis Kesalahan (lahn) dan Hukumnya

C. Fatwa Para Ulama Terkait Lahn


A. Siapa yang Paling Berhak Menjadi Imam?

Yang paling berhak menjadi imam shalat adalah orang yang paling bagus bacaan Al-Qur'annya. Kalau kemampuannya setara, maka dipilih yang paling dalam ilmu fiqhnya. Kalau ternyata kemampuannya juga setara, maka dipilih yang paling dulu hijrahnya. Kalau ternyata dalam hijrahnya sama, maka dipilih yang lebih dulu masuk Islam.

Dasarnya adalah hadits Abu Mas'ud Al-Anshari radliyallaahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :

"يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة، فإن كانوا في السنة سواءً فأقدمهم هجرة، فإن كانوا في الهجرة سواءً فأقدمهم سلماً – وفي رواية - سنّاً ولا يؤمّنَّ الرَّجلُ الرَّجلَ في سلطانه ولا يقعد في بيته على تكْرِمَتِه إلا بإذنه". وفي لفظ: "يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله وأقدمهم قراءة، فإن كانت قراءتهم سواءً..."

"Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Al-Qur'annyaKalau dalam Al-Qur'an kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang Sunnah. Kalau dalam Sunnah juga sama, maka dipilih yang lebih dahulu berhijrahKalau dalam berhijrah sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam". Dalam riwayat lain : ".....yang paling tua usianya"Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasannya, dan janganlah ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk tuan rumah tersebut tanpa ijin darinya".

Dan dalam lafadh yang lain : "Satu kaum diimami oleh orang yang paling pandai membaca Al-Qur'an di antara mereka dan yang paling berpengalaman membacanya. Kalau bacaan mereka sama.... (sama seperti lafadh sebelumnya). [HR. Muslim dalam kitab Al-Masaajid wa Mawaa'idlush-Shalaah, bab : Orang yang paling berhak menjadi imam, no. 673]

Yang paling bagus bacaan Al-Qur'annya, ada yang menafsirkan: yang paling banyak hafalannya. Ada juga yang berpendapat bahwa artinya adalah yang paling bagus tajwid-nya dan paling bagus mutu bacaannya (أجودهم وأحسنهم وأتقنهم قراءة).

Namun yang paling benar adalah pendapat yang pertama, berdasarkan hadits 'Amr bin Salamah radliyallaahu 'anhu : "... وليؤمكم أكثركم قرآناً" : "....hendaknya yang mengimami kalian orang yang paling banyak hafalan Al-Qur'annya". (HR. Al-Bukhari no. 4302)

Juga berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudri radliyallaahu 'anhu : "وأحقهم بالإمامة أقرؤهم" : "Yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling bagus bacaan Al-Qur'annya". (HR. Muslim no. 672)

Maknanya : yang paling banyak hafalannya. Akan tetapi jika mereka sama dalam hafalan Al-Qur'annya dimana seluruh orang yang shalat atau orang yang akan dimajukan sebagai imam telah hafal Al-Qur'an, baru dipilih mana yang paling mantap (كان أتقنهم قراءة وأضبط لها) dan bagus bacaannya. Karena itulah arti yang paling bagus Al-Qur'annya bagi mereka semua yang dalam hafalan sama. (Lihat Al-Mufhim oleh Al-Qurthubi 2/297, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 2/14, dan Nailul-Authar oleh Asy-Syaukani 2/390)

Yang paling utama adalah mengamalkan sebagaimana petunjuk Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam di atas. (http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/01/yang-paling-berhak-menjadi-imam-imam.html)


B. Jenis-jenis Kesalahan (lahn) dan Hukumnya

Jenis-jenis kesalahan (lahn) perlu diperinci, apakah masih bisa ditoleransi (sholatnya sah), atau dapat membatalkan sholat. Berikut perincian mengenai hukum lahn.

Bacaan Al-Qur'an yang tidak mengindahkan ilmu tajwid disebut lahn (ُاللَّحْن) dan orang yang membaca Al-Qur'an dengan lahn disebut lahhan (ُاللَّحَّان). [Lihat: Ilmu Tajwid, Pegangan para Pengajar Al-Qur'an dan Aktivis Dakwah", hal. 54, karya Achmad Toha Husein Al-Mujahid)

Secara bahasa salah satu arti Al lahn adalah "salah atau banyak salahnya". Contoh dalam bahasa arab : يقال رجل لحن أو لحان  "seseorang dikatakan salah atau banyak salahnya (dalam berbicara)."

Adapun secara istilah sebagaimana yang didefinisikan oleh imam ibnu al Jazary al lahn adalah suatu kesalahan yang terjadi pada lafadz-lafadz Al qur'an yang dapat mempengaruhi kebiasaan atau makna, atau hanya mempengaruhi kebiasaan saja tanpa mempengaruhi makna.

Ulama ahli qiro'ah mengklasifikasikan lahn (kesalahan) seseorang yang membaca Al-Qur'an menjadi dua macam:

1. Lahn Jali (kesalahan jelas)

Al lahn al jaliy secara bahasa adalah kesalahan yang nampak. Adapun secara istilah adalah kesalahan yang terjadi pada lafadz-lafadz al qur'an dalam bentuk harakat dan huruf, baik itu merubah arti atau yang tidak merubah arti. Disebut Lahn jaliy adalah dikarenakan kesalahan tersebut nampak dan jelas dan dapat diketahui oleh semua orang dan para ahli qiro'ah (bacaan).

Lahn jali terbagi menjadi dua:

a. Lahn jali yang merusak makna misalnya:

1). Mengganti sebuah huruf dengan huruf lain, seperti:

mengganti huruf tha' dengan huruf ta' dalam kalimat الطَّامَّةُ الْكُبْرَى dibaca التَامَّةُ الْكُبْرَى ,

atau mengganti huruf dhad dengan dal yang di-tafkhim (ditebalkan) dalam kalimat وَلاَ الضَّالِّينَ dibaca وَلاَ الدَّالِّينَ

2). Mengubah sebuah harakat dengan harakat lain, seperti:

أَنعَمتَ عَلَيهِمْ dibaca أَنعَمتُ عَلَيهِمْ

atau إِيَّاكَ نَعْبُدُ dibaca إِيَّاكِ نَعْبُدُ

3). Menambah atau mengurangi syakl, seperti:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ dibaca إِيَاكَ نَعْبُدُ (ya' tanpa syiddah)

4). Menambah atau mengurangi huruf, seperti:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ dibaca فَصَلِّي لِرَبِّكَ

atau الْحَمْدُ dibaca االْحَمْدُ (aal-ed)

atau الله أَكْبَر dibaca الله أَكْبَار

atau مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ dibaca مَالِ يَوْمِ الدِّينِ

atau أَئِذَا كُنَّا عِظَاماً dibaca أَئِذَا كُنَّ عِظَاماً

atau إِنَّا dibaca إِنَّ

b. Lahn jali yang tidak merusak makna, misal: mengubah harakat dengan harakat lain seperti:

الْحَمْدُ للّهِ dibaca الْحَمْدِ للّهِ

atau الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ  dibaca الرَّحْمـنُ الرَّحِيمِ

Seluruh ulama sepakat bahwa hukum lahn jali adalah haram dan orang yang mempunyai lahn jali  maka tidak sah menjadi imam dalam shalat

2. Lahn Khafi (kesalahan samar), yaitu kesalahan yang orang awam tidak tahu, dan hanya diketahui oleh orang-orang tertentu (ahli qiro'ah). Lahn khafi itu lahn yang melanggar kaidah ilmu tajwid tetapi tidak melanggar kaidah tata bahasa. Lahn khafi itu merusak keindahan bacaan Al-Qur'an, dapat merubah kebiasaan bacaan tetapi tidak merusak makna, seperti: meninggalkan bacaan ghunnah, membaca idzhar pada lafadz yang wajib di-idghomkan, membaca ikhfa' pada lafadz yang wajib di-idzharkan. Termasuk lahn khafi yaitu membaca waqf pada huruf hidup tetapi ia tidak men-sukun, membaca mad pada huruf pendek, atau membaca qashr pada huruf panjang dalam lafadz tertentu yang tidak merusak makna dan samar bagi orang awam. Contoh:

+ Dalam bacaan surat Al-Fatihah:

الْحَمْدُ dibaca ْالْحَمْدُو,

إِيَّاكَ dibaca إِيَّاكَا,

أَنعَمتَ dibaca  أَنعَمتَا,

+ Dalam bacaan surat lainnya:

وَلَمْ يُولَدْ dibaca وَلَمْ يُلَدْ

- Tidak sempurna dalam pengucapan dhommah: وَنُوْدُوْا → Seharusnya dibaca wa nuuduu tetapi dibaca wa noodoo

- Tidak sempurna dalam pengucapan kasroh: سَبِيْلِهِ → Seharusnya dibaca sabiilih tetapi dibaca sabiileh

- Tidak sempurna dalam pengucapan fathah: اَلْبَاطِلُ → Seharusnya dibaca al-baathilu tetapi dibaca al-boothilu

- Menambah qalqalah pada kata yang seharusnya tidak berqalqalah: فَضْلَهُ → Seharusnya dibaca fadhlahuu tetapi dibaca fadhe'lahuu

- Mengurangi bacaan ghunnah: أَنَّ → Seharusnya tasydid dibaca dengan dengung sekitar dua harakat tetapi tidak dibaca dengan dengung.

- Terlalu memanjangkan bacaan panjang: اَلرَّحْمَانُ → Seharusnya mim tersebut dibaca dua harakat tetapi dibaca empat, lima, atau enam harokat.

- Terlalu menggetarkan ro': الَذُّكُوْرُ → Seharusnya dibaca adz-dzukuur tetapi dibaca adz-dzukuurrrr.

Hukum al-lahn al-khafiy terdapat dua pendapat,yaitu:

1. Menurut para ulama dahulu, hukumnya adalah haram dan orang yang membaca dengannya dikatakan berdosa karena melafadzkan al qur'an dengan cara yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Shallallaahu'alaihi wa sallam.

2. Menurut ulama kontemporer, hukumnya dapat dilihat dari dua keadaan.

Pertama: dalam dunia pendidikan atau majelis musyafahah, maka hukumnya haram, orang yang membaca dengannya dikatakan berdosa, karena ia telah berdusta atas Nabi shallallaahu'alaihi wa sallam. 

Kedua:ketika membaca sendiri, jika ia membaca dengannya ia tidak berdosa, hanya saja ia luput dari kesempurnaan dalam membaca.

Tetapi menurut pendapat yang rajih, hukumnya adalah haram apalagi jika hal tersebut dilakukan dengan sengaja dan dianggap sepele. Ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut makruh (dibenci).

(Lihat: Ilmu Tajwid, Pegangan para Pengajar Al-Qur'an dan Aktivis Dakwah, hal. 54-56, karya Achmad Toha Husein Al-Mujahid; http://cahayaummulquro.com/?p=902; dan http://muslimah.or.id/hadits/lahn-kesalahan-dalam-membaca-alquran.html)


C. Fatwa Para Ulama Terkait Imam yang Bacaan Qur'annya Buruk

Tidak sempurna rasanya jika tidak dinukilkan fatwa 'Ulama yang lebih lengkap dalam masalah ini. Berikut beberapa fatwa ulama kontemporer tekait hal ini.

1. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan: "Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada seorang imam yang suka ber-talhin (tidak sesuai ilmu tajwid) dalam bacaan Al-Qur'an dan terkadang menambah dan mengurangi huruf-huruf ayat Al-Qur'an. Apa hukum shalat bermakmum kepadanya ?"

Jawaban: "Bila lahn-nya tidak merubah makna (ayat) maka tidak apa-apa shalat bermakmum kepadanya, seperti me-nashab-kan kata Rabba atau me-rofa-kannya (Rabbu) di dalam Alhamudlillahi Rabbil Alamin, begitu juga jika me-nashab-kan kata Ar-Rahman atau me-rofa-kannya dan lain-lain. Adapun bila menyebabkan perubahan makna, maka tidak (boleh) shalat bermakmum kepadanya jika orang itu tidak mengambil manfaat dengan belajar atau diberi tahu (bacaan salahnya) seperti membaca iyyaka na'budu dengan kaf di-kasrah (iyyaki) dan sepeti membaca an-'amta dengan di-kasrah atau di-dhammah huruf ta-nya.

Bila dia menerima arahan dan memperbaiki bacaannya dengan cara diberitahu oleh makmum, maka shalat dan bacaannya itu sah.

Yang jelas, setiap muslim dalam semua keadaan disyari'atkan mengajari saudaranya, baik dalam shalat atau di luar shalat, karena seorang muslim merupakan saudara muslim lainnya. Dia mengarahkannya bila salah dan mengajari bila bodoh dan membetulkan bacaannya bila terjadi kekeliruan."

[Fatwa Ibnu Baz Kitab Ad-Da'wah- (Al-Fatawa 1/57)] [Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur'an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-Qur'an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq] (http://almanhaj.or.id/content/1594/slash/0/hukum-shalat-di-belakang-imam-yang-bertalhin-dalam-bacaan-al-quran/)

2. Syaikh DR. Sholih bin Ghanim As-Sadlan

"Yang dimaksud dengan ummi atau lahhan disini adalah orang yang tidak bisa membaca Al-qur'an dengan baik (Lihat Al-Mathla' hal. 10 dan Asy-syarah Ash-Shoghir 1/437)

Menurut Madzhab Asy-Syafi'iyyah, Hambali, dan pendapat Al-Auza'i, ummi itu adalah yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan sempurna atau beralasan mengucapkan hurufnya atau membacanya dengan bacaan lahhan sehingga merusak arti. (Lihat Al-Mughni II/195 dan 197 serta Al-Majmu' IV/166)

Sudah barang tentu orang yang paling mahir membaca Al-Qur'an lebih berhak mengimami sholat daripada seorang ummi atau lahhan. Oleh karena itu, orang yang tidak mahir seharusnya tidak mengimami sholat jama'ah. Berdasarkan sabda Nabi:

"Orang yang mengimami sholat hendaklah yang paling mahir membaca Al-Al-Qur'an". (HR. Muslim I/465)

Akan tetapi masalahnya, jika seorang ummi atau lahhan maju mengimami sholat jama'ah, maka bagaimanakah status sholat para makmum? Apakah harus mengulangi sholat mereka?

Dalam masalah ini ada empat pendapat ulama yang berbeda:

Pendapat pertama. Tidak sah sholat bermakmum kepadanya dan harus mengulang sholat. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'I, dan Ahmad (Lihat Bahrur Ro'iq I/382; At-Taajul Iklil II/98; Al-Majmu' IV/166; dan Al-Inshaf II/268)

Mereka berdalil dengan hadits:

"Tidak sah sholat bagi yang tidak membaca surat Al-Fatihah." (HR Bukhari I/84)

Hadits ini menunjukkan wajibnya membaca Al-Fatihah dengan baik dianggap membaca dengan tidak sempurna. Maka bagi yang sholat bermakmum kepadanya harus mengulangi sholat.

Pendapat kedua. Boleh sholat bermakmum kepadanya dan para makmum tidak perlu mengulang sholat mereka. Ini merupakan pendapat Atha bin Abi Rabbah, Qotadah, Al-Muzani, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir. Mereka beralasan karena si imam yang ummi itu tidak mampu melaksanakan salah satu rukun sholat, sedangkan bagi yang mampu melaksanakannya dibolehkan bermakmum kepada yang tidak mampu. (Lihat Al-Majmu' IV/167-168)

Pendapat ketiga. Sebuah riwayat dalam madzhab Asy-Syafi'I dan Hambali yaitu seorang qori' (yang mahir membaca Al-Qur'an) boleh bermakmum kepada imam yang ummi (tidak bisa membaca) hanya pada sholat-sholat sirriyah dan tidak dibolehkan pada sholat-sholat jahriyyah. Sebab dalam sholat sirriyah, baik imam maupun makmum wajib membaca. Maka dari itu, sholat seorang qori' yang bermakmum kepada imam yang ummi dianggap sah pada sholat sirriyah tersebut. (Lihat Al-Majmu' IV/167 dan Al-Mughni II/30)

Pendapat keempat. Jika seorang ummi mengimami orang-orang yang juga ummi seperti dirinya, maka sholat mereka dianggap sah. Adapun jika si makmum seorang qori' (yang mahir membaca Al-Qur'an), maka sholat si ummi (imam) dianggap sah sedangkan sholat si qori' (makmum) dianggap batal (tidak sah). Dan jika imam yang ummi mengimami hanya satu orang makmum yang mahir membaca Al-Qur'an (qori'), maka sholat mereka berdua dianggap batal (tidak sah). Keduanya harus mengulangi sholat. (Lihat Al-Inshof II/268-270 dan Al-Mughni II/30 dan 41)

Pendapat terpilih:

Pendapat yang terpilih adalah pendapat keempat. Hanya saja harus memperhatikan beberapa hal berikut:

  • Seorang ummi tidak boleh diangkat menjadi imam rotib (imam tetap) sementara ada qori' yang lebih berhak menjadi imam.
  • Seorang qori' tidak boleh mengikuti dari awal sholat imam yang ummi
  • Jika si qori' tidak mengetahui keadaan imam yang ummi itu lalu ia bermakmum kepadanya, maka sholatnya dianggap sah, berdasarkan hadits:

"Sholatlah di belakang (bermakmum) kepada orang yang telah bersaksi laa ilaaha illalloh"

(Bimbingan Lengkap Sholat Berjama'ah (Sholaatul Jama'ah, Hukmuha wa Ahkamuha wat Tanbih 'ala maa Yaqo'u fiiha min Bida' wa Akhtha', DR. Sholih bin Ghanim As-Sadlan, At-Tibyan)


Tambahan Faedah 

* Disunnahkan membaguskan suara ketika membaca Al-Qur`an dan larangan membaca menyerupai orang bernyanyi (sebagian imam masjid kebanyakan seperti ini)

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bara' radhiallahu 'anhu, bahwa beliau berkata : "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ﭽ ﭑ ﭒ ﭓ ﭼ pada shalat 'isya'. Tidaklah saya mendengar seorang pun lebih bagus suaranya atau bacaannya dari beliau." [HR. Al-Bukhari no.769]

Adapun tentang disunnahkannya membaguskan suara ketika membaca, beberapa hadits-hadits shahih telah menerangkannya, diantaranya, sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "TidaklahAllah mendengarkan sesuatu sebagaimana Allah mendengarkan Nabi-Nya melagukan Al-Qur`an " [HR. Al-Bukhari no.5023 dan Muslim 7920]

Ibnu Katsir mengatakan :"Maknanya adalah bahwa Allah tidak mendengar sebagaimana Allah mendengar bacaan Nabi yang mana beliau mengeraskan bacaannya dan membaguskannya. Hal ini disebabkan pada bacaan para Nabi terkumpul suara yang bagus karena kesempurnaan ciptaan mereka serta rasa khusyu' yang sempurna. Inilah tujuan dari hal itu semua. Allah mendengar suara selurh hamba-Nya, yang taat maupun yang ingkar. Imam Ahmad mengatakan : "Seorang qari' sepatutnya membaguskan suara bacaan Al-Qur`annya, membacanya dengan penuh penghayatan, dan mentadaburinya, dan inilah makna sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "TidaklahAllah mendengarkan sesuatu sebagaimana Allah mendengarkan Nabi-Nya melagukan Al-Qur`an " [Fadhaail Al-Qur`an hal.179,180]

Dalil yang lain adalah sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Bukan golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur`an." [HR. Abu Daud (1469) Al-Albani berkata "shahih"]

Juga dari hadits Al-Barra' bin 'Azib yang berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Perbaguslah suara kalian dengan bacaan Al-Qur`an!"  [HR. Abu Daud (1468) Al-Albani berkata "shahih"]

Yang dimaksud membaguskan suara disini yaitu memperindah, menghayati, dan khusyu' ketika membacanya. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Katsir mengatakan. Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar bacaan Abu Musa Al Asy'ary, beliau mengatakan kepadanya: " Seandainya engkau menyaksikanku disaat saya mendengar bacaanmu semalam ! Sungguh engkau telah diberi keindahan suara sebgaiman keindahan suara Daud". [HR.Muslim (793) dan Al-Bukhari (5048) syarat yang kedua darinya saja]

Pada salah satu riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Ya'la terdapat tambahan dari perkataan Abu Musa: " Sekiranya saya mengetahui keberadaan anda, niscaya saya memperbagusnya untuk anda ". Perkataan Abu Musa menunjukkan bolehnya berusaha membaguskan suara ketika membaca Al-Qur`an, akan tetapi perkataan ini berarti mengeluarkan bacaan Al-Qur`an dari ketentuannya yang disyariatkan, seperti berlebihan memanjangkan bacaan, menyambung ayat tanpa jeda, dan berlebih-lebihan sampai terjadi lahn dalam bacaannya. Yang demikian ini sama sekali tidak disyariatkan. Imam Ahmad membenci membaca Al Qur'an dengan bacaan yang lahn, bahkan beliau mengatakan :"Yang seperti itu bid'ah." [Al-Adab Asy-Syar'iyah (2/301)]

Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan :"Membaca al Qur'an dengan cara melagukannya/lahn seperti nyanyian adalah makruh yang bid'ah sebagaimana disinyalir dalam perkataan Imam Malik, Asy-Syafi'I, Ahmad bin Hambal, dan para imam selain mereka. [Al-Adab ( 2 / 302 )] {http://abukalimasada.wordpress.com/2010/03/29/adab-adab-berkaitan-dengan-al-quran-bagian-5/}

Baca juga tentang fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh tentang Hukum Membaca Al Qur'an Dengan Tajwid di: http://abukarimah.wordpress.com/2012/11/25/hukum-membaca-al-quran-dengan-tajwid/


Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari kiamat.


Abu Muhammad

Palembang, 9 Syawal 1434 H/ 16 Agustus 2013

No comments:

Post a Comment