Karakter berfikir filsafat - Study Kasus Kenaikan Harga BBM - Part 1

3 Karakteristik berfikir filsafat :

1. Menyeluruh

Artinya, Pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari satu sudut pandangan tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui  hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu – ilmu lain, hubungan ilmu dengan moral, seni, dan tujuan hidup.

2. Mendasar

Artinya, pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial objek yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Jadi, tidak hanya berhenti pada periferis

( Kulitnya ) saja, tetapi sampai tembus ke kedalamannya.

3. Spekulatif

Artinya, hasil pemikiran yang didapat dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya. Hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajah wilayah pengetahuan yang baru. Meskipun demikian, tidak berarti hasil pemikiran kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah mencapai penyelesaian.


Analisis Filsafat "Kenaikan Harga BBM"

Dari sekian banyak pelaku yang terlibat dalam kebijakan dan respon kenaikan harga BBM, kita dapat memilahnya menjadi 5 kelompok. Pertama, Pihak Pemerintah yang berposisi sebagai pengambil kebijakan. Kedua, masyarakat biasa yang terdiri dari petani, pengusaha, nelayan, dan agamawan yang menjadi objek dari kebijakan pemerintah. Ketiga, Politisi yang berperan mengkritisi kebijakan pemerintah dalam kaitan dampaknya bagi rakyat. Keempat, akademisi dan pengamat yang coba memberikan tinjauan rasional terhadap kebijakan kenaikan BBM. Kelima, aktivis mahasiswa dan serikat pekerja, yang cendrung menghadapi situasi dengan pendekatan demonstrasi turun ke jalan.

Pada bagian ini penulis akan lebih menilisik pada 2 kubu yang berseberangan yaitu Pihak Pemerintah dengan sebagian Akademisi/Pengamat. Argumen yang disampaikan oleh Pemerintah, kenaikan BBM merupakan upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan APBN negara yang banyak dihabiskan oleh subsidi bagi BBM. Naiknya harga minyak dunia memaksa pemerintah mesti melakukan penyesuaian terhadap harga minyak di dalam negeri. Meskipun kenaikan berdampak positif dari sisi bertambahnya pendapat negara dari penjualan minyak mentah, tetap saja belum sebanding dengan subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk menurunkan harga minyak dalam negeri.

Di sisi lain, para akademisi melihat kebijakan pemerintah menaikan harga BBM adalah bentuk tunduknya pemerintah terhadap koorporasi asing. Pandangan ini dipresentasikan dalam pernyataan Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Revrisond Baswir, “Selama ini ada ideologi asing yang menyusupi sistem perekonomian Indonesia. Ideologi kapitalisme yang tidak memihak rakyat itu dibungkus agar seolah sesuai dengan nilai Pancasila. Maka terbentuk ideologi baru “Kapitalisme Pancasila”. Kenaikan BBM dan kebijakan tak prorakyat lainnya merupakan bentuk kongkrit ideologi tersebut.”

Alasan pemerintah menaikan harga BBM karena naiknya harga minyak dunia sangat erat kaitannya dengan arus globalisasi yang menyeruak beberapa dekade ini. “Dalam sebuah definisi dikatakan, globalisasi pada pokoknya berarti proses interkoneksi yang terus meningkat di antara berbagai masyarakat sehingga kejadian-kejadian yang berlangsung di sebuah negara mempengaruhi negara dan masyarakat lainnya. Dunia yang terglobalisasi adalah dunia di mana peristiwa-peristiwa politik, ekonomi, budaya dan sosial semakin terjalin erat dan merupakan dunia di mana kejadian-kejadian tersebut berdampak semakin besar (Rais: 11-12).

Hingga saat ini pemerintah Indonesia masih menjalin kerjasama bantuan dengan Bank Dunia dan IMF. Menurut IMF, “ekonomi pasar bebas menjamin efisiensi lewat kompetisi atau persaingan dan pembagian kerja. Pembagian kerja dan spesialisasi komoditas ekonomi akan memungkinkan masyarakat untuk memusatkan perhatian dan pekerjaan pada apa yang paling baik buatnya. Menurut Bank Dunia, “inti globalisasi ekonomi adalah proses sharing kegiatan ekonomi dunia yang berjalan melanda semua masyarakat di berbagai negara dengan mengambil 3 bentuk kegiatan, yaitu perdagangan internasional, investasi asing langsung, dan aliran pasar modal” (Rais: 12-13).

Hubungan Indonesia dengan IMF dan Word Bank, pada masa krisis, membuat pemerintah mesti merealisasikan 10 resep mujarab dari lembaga keuangan internasional itu yang terkenal dengan sebutan Konsensus Washington. Konsensus ini berisikan:
1. Perdagangan bebas.
2. Liberalisasi pasar modal.
3. Nilai tukar mengambang.
4. Angka bunga ditentukan pasar.
5. Deregulasi pasar.
6. Transfer aset dari sektor publik ke sektor swasta.
7. Fokus ketat dalam pengeluaran publik pada berbagai target pembangunan sosial.
8. Anggaran berimbang.
9. Reformasi pajak.
10. Perlindungan atas hak milik dan hak cipta, (Rais: 15).

Persetujuan pemerintah terhadap kebijakan ini telah dirasakan dampaknya. Kenaikan harga BBM merupakan akibat turunan terutama poin 6, 7 dan 8. Banyak yang menyesalkan tindakan pemerintah menaikan harga BBM karena berasumsi negara kita kaya akan minyak. Ketika rakyat masih menderita secara ekonomi, kenapa pemerintah tega melakukan kebijakan yang seolah-olah tidak memikirkan nasib rakyat. Ternyata, kekayaan negara ini yang semestinya dimiliki oleh sektor publik, telah dikuasai oleh koorporat swasta asing.

Seruan pakar ekonomi yang melihat subsidi BBM tidak mesti dikurangi karena ada pos-pos pemasukan lain yang bisa menutupi, ternyata tidak juga digubris oleh pemerintah. Di sinilah kekuatan konsensus no 7 bermain. Subsidi untuk sektor publik tidak boleh diberikan dalam proporsi yang terlalu besar. Subsidi BBM yang mencapai angka 100-an triliyun Rupiah, tidak baik bagi Anggaran Berimbang (konsensus no 8), karena akan menghambat distribusi budget untuk pembangunan sosial lainnya.

Pengamat dan akademisi memandang kebijakan pemerintah menaikan harga BBM lebih banyak mudarat dari pada manfaatnya. Ichsanuddin Noorsy, Pengamat kebijakan publik, “Kenaikan BBM sama artinya dengan upaya pemerintah mengalihkan daya beli masyarakat kelas menengah ke atas ke kelas menengah ke bawah. Sementara daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah akan terpangkas sebesar 35 persen akibat efek ganda kenaikan harga BBM dan inflasi”. Senada dengan Noorsy, Revrisond menilai tindakan pemerintah ini merupakan kekalahan ideologi ekonomi kerakyatan atas ideologi ekonomi liberal akibat lembeknya pemerintah terhadap tekanan koorporat asing.

Jika kita lihat pandangan para akademisi dan praktisi yang menolak kenaikan harga BBM maka pemikiran mereka membawa kita pada persoalan bagaimana fungsi negara dalam hal pemberian pelayanan kepada rakyatnya. Melisik lebih jauh, tepat kiranya kita menarik analisis-analisis kontra tersebut dalam pembahasan ideologi politik negara. Dalam term filsafat politik kita mengenal istilah welfare state. Welfare state adalah gagasan yang dirintis oleh Prusia di bawah Otto Von Bismarck sejak tahun 1850-an. Encyclopedia Americana disebutkan bahwa welfare state adalah bentuk pemerintahan di mana negara di anggap bertanggungjawab untuk menjamin standar hidup minimum bagi setiap warganya (Husodo: 8).

Konsep ini telah membuat banyak negara yang menganutnya menjadi negara yang makmur dan kaya, terutama di negara Amerika Utara dan Eropa Barat. Rakyat di negara tersebut menikmati pelayanan dari negara di bidang kesehatan dengan program asuransi kesehatan, sekolah gratis sampai sekolah lanjutan atas bahkan di Jerman sampai Universitas; penghidupan yang layak dari sisi pendapatan dan standar hidup; serta jaminan hari tua yang memadai; orang menganggur serta orang yang tidak produktif menjadi tanggungan negara dan sistem transportasi yang murah dan efisien (Husodo:8).

Menurut penulis, arus logika yang dibangun oleh pemerintah dalam menaikan harga BBM dapat diterima dalam kerangka hubungan sebab-akibat dan bisa diakomodir dalam hitungan ekonomi. Sementara, para pengamat lebih jauh melihat pada titik keberpihakan pemerintah.

Posisi dilematis pemerintah disebabkan keadaan negara yang serba lemah di segala bidang. Selain disusupi oleh kaki tangan kepentingan asing, ternyata secara mental bangsa ini sangat rapuh. Kedatangan globalisasi ekonomi yang punya power teramat kuat telah menjadikan rakyat dari sebagai korban pemerintah. Hal ini telah diingatkan oleh Noam Chomsky, “Globalisasi yang tidak memprioritaskan hak-hak rakyat (masyarakat) sangat mungkin merosot terjerembab ke dalam bentuk tirani, yang dapat bersifat oligarkis dan oligopolitis. Globalisasi semacam ini didasarkan atas konsentrasi kekuasaan gabungan negara dan swasta yang secara umum tidak bertanggung jawab pada publik.” (Rais: 22)

Tarik ulur antara adaptasi ekonomi dunia dengan perlindungan terhadap rakyat menjadi diskursus yang tidak sederhana. Hal ini membawa kita kepada pertanyaan, apakah fungsi negara terkait dengan kesejahteraan rakyatnya.

Kenaikan BBM jelas-jelas akan memperberat beban rakyat secara ekonomi. Akibatnya potensi ketimpangan dan kejahatan sosial meningkat pula. Sekarang kita perlu jawaban filosofis menghadapi kondisi ini. Jawaban sabar yang seringkali meninabobokan masyarakat telah menjadikan kemiskinan dan keterpurukan semakin menjadi-jadi.

Negara yang didirikan oleh suatu bangsa, bermaksud untuk mencapai kesejahteraan bagi rakyat yang bernaung di dalamnya. Upaya menyengsarakan rakyat oleh pemerintah melalui kebijakan tidak berpihak pada rakyat, secara tidak langsung menciderai tujuan pendirian negara. Pemerintah yang dipilih oleh rakyat dengan harapan mampu membawa perubahan kepada kebaikan memegang tanggung-jawab politis yang akan selalu ditagih.

Namun, pemerintah sebenarnya merupakan bentuk dari representasi potret rakyat. Pemerintah yang membeo pada kekuatan asing adalah cerminan bahwa rakyat juga belum mandiri dan merdeka dari desakan kepentingan di luarnya. Pemerintah yang korup dan suka menjual kekayaan negara, adalah cerminan masyarakat yang opurtunis menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi kepentingan kelompok dan pribadi.

Keterpurukan ekonomi sesungguhnya timbul dari jiwa-jiwa yang masih bermental budak. Kemalasan yang melanda tubuh bangsa ini teramat kronis, sehingga membuatnya semakin lemah. Malas dan mental kerupuk, telah menjalar di berbagai sektor. Sehingga ketika kesulitan dan problematika menghadang, respon yang mengemuka adalah kutukan akan nasib dan pengharapan yang berlebihan kepada orang lain yang dianggap mampu membawa dirinya terlepas dari himpitan beban. Keluguan kita akan kebaikan orang lain telah membawa kita menjadi sapi perahan “sang penolong”. Karena terus dihisap dan membiarkan diri terpaku, bangsa ini semakin lemah dan apa yang dia punyai perlahan telah tergadaikan dengan harga yang sangat murah.

Kenaikan harga BBM, di satu sisi adalah tantangan bagi masyarakat untuk semakin meningkatkan taraf hidupnya. Memang ada yang mengatakan kemiskinan yang terjadi saat ini diakibatkan sistem yang tidak pro rakyat. Namun, jika terus menyalahkan sistem yang entah sampai kapan akan berubah, tanpa bekerja keras dan memilih menjadi pengemis, sama saja membunuh diri.

Resesi ekonomi yang ditandai ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari adalah bagian dari sejarah krisi suatu bangsa. Dan tiadalah jalan untuk menghentikannya kecuali merubah cara memandang hidup.

Di satu sisi kelompok yang pro selalu melandaskan kebijakan ini sebagai arus logika ekonomi yang wajar terkait arus yang berlaku pada pasar dunia. Sedangkan kelompok yang kontra dengan penuh gairah menyatakan bahwa kenaikan harga bbm adalah bentuk tekanan globalisasi ekonomi dimana pemerintah tidak mampu menghadapi koorporat asing dan tidak mampu menjalankan fungsi menyejahterakan rakyat sebagaimana konsep negara welfare state yang menjadi konsep negara ideal menurut kalangan kontra.

Letak ketidakpuasan penulis terhadap tinjauan kelompok yang kontra tersebut adalah pada masih dangkalnya asumsi yang dikemukan terkait dengan fenomena globalisasi ekonomi terkait dengan kapitalisme. Dimana arahan yang hendak dicapai suatu tesis bahwa bangsa ini masih dijajah sehingga perlu ada perlawanan terhadap penjajahan tersebut. selain itu, tawaran solusi yang ditawarkan cendrung tidak matang, karena masih mengambil asumsi Marx tentang teori konflik kelas. Dimana untuk melawan kapitalisme perlu adanya mobilisasi massa dalam hal ini kelas proletar yang menjadi kelompok masyarakat dirugikan oleh kebijakan kapitalis. Belum lagi, penjelasan tentang posisi negara terkait globalisasi belum dijelaskan secara rinci.

Menurut penulis ada baiknya kita merujuk pada pandangan Jurgen Habermas terkait pembahasan filosofis mengenai studi kasus kenaikan harga bbm. Menurut Habermas, saat ini negara kapitalis yang kita hadapi adalah kapitalis akhir. Dimana kecendrungan yang terjadi kapitalisme bukan lagi alat hukum ekonomi dan bukan pula sebagai agen sistematik kapitalis ekonomi. Kapitalisme yang dipahami selama ini meletakan kekuasaan intranegara melalui koorporasi transnasional telah mereduksi kekuasaan negara. Sedangkan kapitalisme akhir dihadapkan pada keharusan negara untuk turut campur tangan dalam menjembatani persaingan pasar yang semakin lebar. Negara dalam kapitalisme akhir diletakan pada posisi yang kuat sebagai sebuah sistem yang memiliki kekuasaan yang sah. Anggaran menunjukkan beban konsumsi masyarakat yang secara tidak langsung dibebankan pada produksi (untuk perumahan, transportasi, kesehatan, waktu, waktu senggang, pendidikan umum, dan jaminan sosial).

Oleh karena itu, aparat negara mempunyai dua tugas sekaligus yakni dia harus memungut pajak yang perlu dari keuntungan dan pendapatan serta menggunakannya secara efisien guna mencegah krisis yang akan menganggu pertumbuhan (Macridis: 410-411).

Menurut analisis Habermas, letak penentu mekanisme bukan lagi terletak pada pasar. Namun, di tangan aparatur negaralah yang bisa mengambil alih fungsi penganti dan pelengkap yang selama dijalankan pasar.defisit dalam rasionalitas administratif terjadi ketika negara tidak mampu merekonsiliasi dan mengeluarkan perintah yang keluar dari sistem ekonomi. Inilah yang sebenarnya terjadi pada pemerintah kita. Argumen bahwa situasi ekonomi dunia berpengaruh besar terhadap kebijakan nasional sebenarnya bisa direduksi efek negatifnya ketika negara mampu keluar dari sistem yang ada (McCarthy:477-478).

Negara bisa melindungi dirinya menjadi korban kapitalis globalisasi ekonomi. Saat ini terdapat suatu kesadaran umum bahwa distribusi kesejahteraan sosial, sangat bergantung pada kebijakan pemerintah dan pada negosiasi kompensasi dan kewajiban yang bersifat quasi politik (McCarthy: 480).

Ada suatu persoalan mendasar yang masih perlu dipecahkan oleh pemerintah kita saat ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Habermas, yaitu bagaimana mendistribusikan produk sosial secara tidak setara namun sah. Karena keadilan pasar tidak lagi bisa dipegang, maka program-program penganti multak dibutuhkan (McCarthy: 480). Dari asumsi inilah program BLT lahir. BLT merupakan bentuk kompensasi pemerintah atas ketidakadilan yang terjadi dengan memberikan perlakuan khusus kepada masyarakat miskin sehingga legitimasi pemerintah tetap dipertahankan di mata rakyat.

Daftar Pustaka

    Habermas, Jurgen. 1996. “Krisis Legitimasi”. Dalam Macridis, Roy. C dan Bernard E. Brown. Perbandingan Politik. Terjemahan A.R . Henry Sitanggang, SH. Penerbit Erlangga: Jakarta.
    Husodo, Yudo Siswono. 2006. “Pancasila: Jalan Menuju Negara Kesejahteraan”. Dalam Editor. Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa. Pusat Studi Pancasila UGM: Yogyakarta.
    McCarthy, Thomas. September 2006. Teori Kritis Jurgen Habermas. Terjemahan Nuhadi. Penerbit Kreasi Wacana: Yogyakarta.
    Rais, Muhammad Amin. Cetakan Ekstra April 2008. Agenda-Agenda Bangsa: Selamatkan Indonesia!. PPSK Press: Yogyakarta.

Ada yang dikutip dari : http://grelovejogja.wordpress.com/2008/06/07/kenaikan-hraga-bbm-analisis-filsafat/

No comments:

Post a Comment