Sebuah perlombaan


Ibarat perlombaan, aku baru saja melangkah dari garis start, aku tidak tau teknik berlari, berenang, melompat, mendaki, memanjat, sementara jauh di sana sudah tau segala teknik, dan tau jalan pintas.
aku adalah peserta dadakan yg bingung, apakah aku harus ikhlas untuk keluar arena, atau harus tetap berlari dan berharap keajaiban..aku juga ga tau, peraturan apa yg ditetapkan, dan apa kriteria pemenangnya..kamu adalah penonton yg tau segalanya, namun aku ga tau, ke siapa km mendukung..aku juga ga tau apakah hatimu berkata ke aku untuk mundur, atau untuk terus..aku adalah peserta dadakan, dimana aku punya bidang yg berbeda dg yg dilombakan.. aku tidak tau rambu jalan, aku tidak tau dimana ada lobang, aku tidak tau dimana ada tikungan.. aku jg ga tau, km dan keluarga adalah suporter yg mana, karena sama2 mengucapkan selamat berlomba.. aku adalah peserta yg belajar sambil berlomba..
doa adalah tenaga, harapan adalah penjaga




Doa dan harapan, berbahagialah orang yang masih memiliki karunia untuk mendapatkannya dari orang-orang sekitar. Tetaplah berjalan menuju garis finish yang diinginkan dengan menaruh kedua unsur tersebut di setiap langkah.

Allah, give me the Cisco Number


Published with Blogger-droid v2.0.9

Puasa dan Shalat yang dicintai Allah


PUASA YANG DICINTAI ALLAH adalah PUASA
NABI DAUD.

SHOLAT yang DICINTAI ALLAH,adalah
SHOLAT NABI DAUD.

Dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Ash radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺎًﻣْﻮَﻳ ُﻡﻮُﺼَﻳ َﻥﺎَﻛ ، َﺩُﻭﺍَﺩ ُﻡﺎَﻴِﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ ِﻡﺎَﻴِّﺼﻟﺍ ُّﺐَﺣَﺃ
َﻥﺎَﻛ ، َﺩُﻭﺍَﺩ ُﺓَﻼَﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ ِﺓَﻼَّﺼﻟﺍ ُّﺐَﺣَﺃَﻭ ، ﺎًﻣْﻮَﻳ ُﺮِﻄْﻔُﻳَﻭ
َﻱَﻭ ِﻞْﻴَّﻠﻟﺍ َﻒْﺼِﻧ ُﻡﺎَﻨَﻳ
ُﻪَﺳُﺪُﺳ ُﻡﺎَﻨَﻳَﻭ ُﻪَﺜُﻠُﺛ ُﻡﻮُﻗ
 
“PUASA yang PALING DICINTAI oleh Allah adalah PUASA (Nabi) DAUD , yang beliau berpuasa sehari dan berbuka (yakni tidak berpuasa) sehari, serta SHALAT yang PALING DICINTAI oleh Allah adalah shalat (Nabi) DAUD, yang beliau tidur pada seperdua malam, kemudian berdiri (untuk mengerjakan shalat) pada sepertiga (malam) itu, lalu tidur pada seperenam (malam) tersebut.” [HR -Bukhâry, Muslim, Abu Dâud, An-Nasâ`iy, dan Ibnu Majah.]
Published with Blogger-droid v2.0.9

.. CINTA KARENA ALLAH ...

Semua Cinta atas dasar kecintaan kepada Allah
itulah cinta hakiki, semua cinta yang
mengantarkan seseorang kepada taat kepada
Allah itulah cinta yang sebenarnya. Karena
cinta adalah kesucian, pengorbanan, keteguhan
dalam memegang janji, keikhlasan dalam
melaksanakan perintah Allah.
Cinta adalah akad dan perjanjian…
Cinta adalah air kehidupan bahkan dia adalah
rahasia kehidupan…
Cinta adalah kelezatan ruh bahkan ia adalah
ruh kehidupan…
Dengan cinta menjadi terang semua
kegelapan…
Dengan cinta akan cerah alam kemanusiaan…
Dengan cinta akan bersemi perasaan…
Dan dengan cinta akan jernih segala pikiran…
Dengan cinta semua kesalahan akan
dimaafkan…
Dengan cinta semua kelalaian akan
diampunkan…
Dengan cinta akan dibesarkan arti kebaikan…
Kalaulah bukan dengan cinta, maka tidak akan
saling meliuk satu dahan dengan dahan yang
lainnya…
Kalaulah bukan karena cinta tidak akan
merunduk rusa betina kepada pejantannya,
tidak akan menangis tanah yang kering
terhadap awan yang hitam, dan bumi tidak akan
tertawa terhadap bunga pada musim semi…
Ketika cinta hampa dalam kehidupan maka jiwa
akan sempit dan terjadilah pertikaian dan
perselisihan.
Ketika cinta telah hilang…
Maka akan layulah bunga…
Akan padamlah cahaya…
Akan pendeklah usia…
Akan kering danau di hutan belantara dan akan
silih berganti datang penyakit dan sengsara.…
Ketika cinta telah sirna…
Tatkala itulah lebah meninggalkan bunga…
Tatkala itu burung pipit meninggalkan
sangkarnya…
Tatkala itu pula kutilang tidak hinggap lagi
pada pucuk cemara...
Sekiranya lautan mempunyai pantai dan
sekiranya sungai mempunyai muara, maka
lautan cinta tidak berpantai dan sungai cinta
tidak bermuara…

Published with Blogger-droid v2.0.9

"Sakinah saja dulu... "



“Anakku, wong dadi manten kuwi pancen isine mung seneng. Nanging ojo ngasi sliramu malah seneng dadi manten”


(Anakku, orang menikah itu memang isinya cuma senang. Tapi jangan sampai kamu senang /hobi menikah)
Itulah petuah kakek enam tahun yang lalu, di malam resepsi pernikahan saya. Sederhana sekali, bahkan sebagian hadirin jadi tersenyum mendengarnya. Lalu setelah mengarungi bahtera rumah tangga hampir 3 tahun lamanya, nasehat itu terasa mengena sekali saat ini. Bukan karena adanya keinginan untuk “seneng dadi manten”. Tapi adalah sebuah kenyataan bahwa memang memelihara sebuah pernikahan itu tidak semudah yang terlihat orang. Ibarat gunung, pernikahan itu sepertinya halus dan mulus bila terlihat dari jauh, tapi ternyata cukup terjal dan berliku ketika kita mendekatinya dan atau bahkan mendakinya.

Bagi anda yang sudah menikah, coba buka lagi undangan yang dulu disebarkan. Jika sudah hilang, coba ingat-ingat lagi ayat Al Quran apa yang tercantum sebagai sebuah kelaziman dalam sebuah undangan pernikahan? Saya yakin semua menjawab serempak, Ar-Rum ayat 21.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasanNya ialah diciptakanNya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu mendapat ketenangan hati dan dijadikanNya kasih sayang di antara kamu. Sesungguhnya yang demikian menjadi tanda-tanda kebesaranNya bagi orang-orang yang berpikir”.

Betapa indahnya Allah memberi contoh kecil dari sekian tanda-tanda kekuasaanNya yang tersebar di seantero jagad raya. Allah telah menciptakan pasangan bagi masing-masing kita, dengan tujuan utama adalah litaskunuu atau mendapat ketenangan hati, ketentraman jiwa dan kesucian ruhani. Barulah tujuan kedua adalah terciptanya cinta dan kasih sayang di antara kita dan pasangan.


Ayat di atas itulah yang dijadikan landasan doa yang umum diucapkan kepada pengantin baru, “Semoga menjadi keluarga yang sakinah (tenang, tenteram), mawaddah (penuh cinta), warahmah ( penuh kasih sayang)”.

Kita yang sudah menikah sungguh ikhlas mengaminkan doa indah itu dalam hati. Tapi pernahkah kita mencoba berpikir sejenak, mengapa Allah meletakkan ketenangan dan ketenteraman hati sebagai tujuan utama menikah, baru kemudian adanya cinta dan kasih sayang di posisi kedua dan ketiga? Sehingga adanya cinta sejati seharusnya tumbuh setelah menikah dan bukan cinta berkalang nafsu sebelum menikah?

Sahabat Pejuang,
Allah adalah zat pemilik segala cinta. Dialah muara segala rindu. Allah jualah penguasa jiwa dan sayang di setiap hati kita. KepadaNya lah cinta sejati akan ditambatkan. Kepada Allahlah Rindu menggebu hendak terlabuhkan. Pernahkah antum merasa bahwa surat cintaNya begitu indah menyapa kita? Coba anda buka mushaf dan baca AyatNya yang pertama. Surat cinta yang berbalut Rindu mengharu biru itu Allah mulai dengan “BISMILLAHI AR-RAHMAN AR-RAHIM” (Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang)

Subhanallah, di antara 99 asmaNya yang agung, Allah telah memilih Ar-Rahman dan Ar-Rahiem sebagai pembuka surat cintaNya. Dua nama yang berhubungan dengan cinta. Betapa indah sapaan pertamaNya kepada kita. Allah sangat tahu, bahwa salah satu software yang dominan menguasai diri manusia adalah cinta. Maka, Dia memperkenalkan diri-Nya sebagai zat yang maha mencinta. Dan pada surat Ar-Rum di atas, Allah menjadikan pernikahan sebagai salah satu bukti kuasaNya atas cinta itu.

Pernikahan. Yah, prosesi sakral itu dimulai dengan akad nikah, sebuah penyampaian tantangan dari wali mempelai puteri kepada mempelai pria untuk alih tanggung jawab dalam mengasuh calon mempelai puteri. Kemudian hal itu disambut dengan ungkapan kesanggupan mempelai pria untuk menerima tantangan tersebut dengan menyiapkan mas kawin / mahar sebagai jawaban pertamanya.

Simpel memang. Tapi Islam menganggap hal itu sebagai sebuah prosesi yang sakral sekali. Agama menyebut peristiwa itu sebagai Mitsaqan Ghalidza (ikatan yang kokoh/kuat), dimana dalam sejarah umat manusia, ikatan itu hanya terjadi dua kali. Pertama ketika Nabi Musa menerima “Ten Commandements” dari Allah di lembah Tuwa, dan yang kedua adalah ketika akad nikah diucapkan oleh sepasang pengantin. MasyaAllah, prosesi sederhana nan simple itu dinilai sederajat dengan perjanjian Allah dan Nabi Musa.

Sungguh sebuah ikatan perjanjian yang kokoh. Jangan sampai dilanggar, jangan sampai terkhianati, sebab dari ikatan kokoh nan suci itulah, hal yang sebelumnya haram menjadi halal bahkan wajib. Yang sebelumnya berdosa menjadi berpahala. Dan yang sebelumnya dilarang sekarang diizinkan, bahkan diiringi dengan dengan untaian doa.

Lalu apakah berhenti sampai disitu? Ah, tentu saja tidak. Itu barulah awal mulanya. Selanjutnya, tentu saja perjuangan yang sesungguhnya. Hidup baru yang sesungguhnya, dan tak lagi menjadi raha semalam. Menikah pada hakekatnya bukanlah sekedar menyatukan dua hati anak manusia dalam mahligai rumah tangga. Tapi lebih dari itu, pernikahan adalah sinergi dua keluarga. Pernikahan adalah penyatuan dua hati, dua keluarga, dua budaya berbeda dan dua sifat yang tiada sama..Maka disinilah hikmah kenapa Allah meletakkan “sakinah” terlebih dahulu daripada “mawaddah wa rahmah”.

Sakinah adalah ketentraman. Sakinah adalah ketengan hati. Dan itulah tujuan utama pernikahan. Dua mempelai yang memiliki karakter berbeda, dan dari dua keluarga dengan adat dan budaya yang berbeda. Tentu perlu waktu untuk bisa saling memahami dan mengisi. Akan banyak kelemahan yang nampak dari masing-masing pasangannya setelah menikah. Segala kelebihan yang terlihat sebelum menikah, bisa jadi berganti dengan kebiasaan aslinya yang mungkin kurang berkenan.

Tentu saja, siapa sih yang mau tampil seadanya di depan calon suami/istrinya? Nah, sang suami mungkin bisa menerima kelemahan isterinya dan begitupun sebaliknya. Namun bagaimana dengan keluarga masing-masing? Bisakah juga menerima perbedaan budaya, tradisi dan kebiasaan itu?

Di sinilah perlu adanya kearifan untuk membangun keluarga sakinah itu. Al Quran dengan sangat indah menegaskan bahwa istri adalah pakaian dari suami dan demikian pula sebaliknya. Fungsi utama pakaian adalah menutup aurat yang mengartikan bahwa setiap suami adalah penutup aib istrinya dan seorang istri adalah penutup aib suaminya. Pantang bagi seorang suami/istri membuka aib pasangannya di depan orang lain, meskipun itu di depan keluarganya sendiri, sambil terus memperkenalkan adat dan budaya masing-masing untuk bisa saling mengerti dan memahami. Sehingga biarlah kesalah fahaman hanya milik berdua, asal keluarga masing-masing jangan sampai tahu. Karena memang begitulah yang diminta Allah, sebagai penutup aurat pasangan masing-masing.

Nah, fungsi pakaian yang kedua adalah sebagai hiasan. Memaknai bahwa sepasang pengantin adalah pantulan kepantasan pasangannya. Kalaulah istri senantiasa nampak gembira di mata keluarga dan tetangganya. Bukankah orang akan beranggapan bahwa keluarga itu adalah keluraga yang bahagia? Dan bukankah itu bisa menjadi doa buat kita? Maka hiasilah pasangan kita. Biarkanlah dia nampak cantik/tampan di mata keluarga. Sampaikanlah segala kebaikan dan sifat mulianya, dan tutuplah rapat-rapat segala aibnya. Itulah rintisan awal keluarga sakinah yang sesungguhnya.

Jika sakinah sudah berwujud. Maka cintapun pasti akan ikut. Bagaimana tidak? Setiap hari bertemu pandang, saling tersenyum dan menyapa riang, bertegur sapa dan saling menyayang, saling menutup aib dan mendendangkan keindahan. Saling memuji dan mengingatkan. Saling membantu dan memudahkan. Lalu apa alasan cinta tak tumbuh laksana cendawan di musim hujan? Dan inilah cinta yang menenteramkan. Cinta yang melanggengkan pernikahan. Cinta yang senantiasa mengantar setiap detik nafas dalam edaran darah menyatu padu dalam beningnya nuansa syahdu sucinya kalbu. Bersama dalam semangat tak jeda, dalam perjalanan menapak bumi, meniti jalan, menggapai dunia.

Dan kalaulah cinta sudah terbina, maka kelak kasih sayang juga akan senantiasa terjaga. Kasih sayang tidak akan bicara lagi cantiknya paras dan indahnya busana. Kasih sayang hanyalah melihat kebaikan dan kesetiaan semata. Sakinahlah yang membentuk, lalu cinta yang membina, dan kasih sayangpun akan mekar dengan indahnya. Seorang lelaki boleh saja mengalami puber kedua. Dia boleh merasa kembali muda, tapi pandanganya tidak akan pernah lengah dari istri tercinta. Bahkan jikalau ada yang sekalipun yang menggoda, hatinya akan kokoh terjaga. Dia sambil tersenyum akan berkata, “ Sekarang aku sudah memiliki harta, tentu banyak yang memuji dan banyak yang mau lagi menjadi istriku yang kedua atau ketiga. Tapi siapakah dulu yang mendampingku ketika aku tak punya apa-apa? Siapakah yang memberi semangat padaku ketika ada masalah di tempat kerja? Siapakah yang setia mengasuh buah hatiku ketika aku sedang sibuk bekerja? Siapakah yang rela menungguku pulang malam di samping pintu dan tetap menyiapkan hidangan bahkan ketika keletihan badanku menderita? Ah, jika jawabannya adalah istriku yang tercinta, lalu apa alasanku menduakan cintanya? ”.

Subhanallah, indah nian Tuhan mengatur cintaNya, menebarkannya di setiap relung hati umatNya dan memberi petunjuk bagaimana memelihara untaian ayat-ayat cintaNya. Semoga kita bisa meletakkan cinta mulia itu di setiap nyala dan di hati kita. Menggapai sakinah, memetik mawaddah, dalam senandung indah nada-nada rindu penuh Rahmah.

Wallahu a’lam bis shawab

Sumber dari sini.


Lagu Petani

Nasi putih terhidang di meja kita santap tiap hari,
Beraneka ragam hasil bumi dari manakah datangnya,
Dari sawah dan ladang disana, petanilah penanamnya,
Panas terik tak mengapa, hujan rintik tak dirasa,
Masyarakat butuh bahan pangan,
Terima kasih bapak tani, 
Terima kasih ibu tani,
Jasa anda sungguh mulia..

Pak Tani, maaf ya..
aku ada di golonganmu, golongan yang menikmati indahnya tanah persawahan..
indahnya becek-becekan..
indahnya bermain lumpur..
indahnya mencangkul..
indahnya ketika matahari terbenam, kita masih disana bersama capung yang beterbangan..
kelelawar mengantar kita saat aku mendorong sepeda, yang ditengahnya membujur 1 karung gabah,
indahnya berloncat-loncatan dari petak ke petak..
bekal makanan yang seadanya, hanya nasi, sayur nangka, dan tempe goreng,
semua nikmat itu tidak akan pernah ditemukan di kota..
kita tukarkan sedikit gabah kita dengan semangkuk atau beberapa es cendol..
"ngurup" istilahnya,
kita tetap senang karena gabah masih lumayan terjaga harganya,
meskipun saat itu dalam musim panen..
masih ada lumbung desa..
ada klompencapir..

Pak Tani..
pagi-pagi kita sudah berangkat..
habis subuh..
ya..
terkadang tengah malam bapakku sudah berangkat..
menjelang subuh baru pulang, untuk tetap menjaga agar sawah kita terairi dengan baik..

saat matahari baru sedikit muncul cahayanya,
bersama anak yang menggembala kerbau di kegelapan pagi..
indah..
indah..
indah..

sebenernya, negara ini engkau yang menopangnya..
pertanian,
perikanan,
pendidikan..

nasi putih terhidang di meja..
kita santap setiap hari..
....
....


terpujilah wahai engkau ibu bapak guru..
namamu akan selalu hidup dalam sanubariku..
semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku..
sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu..

Pak Guru..
engkau juga manusia paling berjasa membangun Indonesia..

Pak Nelayan,
nenek moyangku seorang pelaut..
:)

Tak kan ada ikan gurih di meja makan,
Tanpa ada jerih-payah nelayan,
Daging ikan sumber gizi bermutu tinggi,
Diperlukan semua manusia,
Siang malam mengembara di lautan,
Ombak badai menghadang dan menerjang,
Pak nelayan tak gentar dalam darmanya,
Demi kita yang membutuhkan pangan,
Terima kasih pak nelayan
Butiran padi,
air..
capung-capung yang beterbangan..
burung sriti..
lumpur..
bangau..
hembusan udara pagi..
sejuk..
indah..
nyaman..
damai..

Pak Tani,
aku penat disini..

maafkan aku..
suatu saat, aku akan kembalikan kejayaanmu..

"Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku"
tanah tumpah darahku..
tumpah darah..


Sesungguhnya engkau lah yang menumpahkan darah ini hingga Indonesia merdeka..

Maaf.. 

Selamat jalan Khadijahku.....

“Akhi, seperti apa sih ibu Robiatul ini,” tanyaku kepada Pak Marjani yang bertugas mengantar buletin. ”Ndak tahu, nggak pernah ketemu, yang saya tahu dia pesan buletin itu untuk dikirim via bis ke Kotabangun”.

Wah wanita yang mulia, mau menyisihkan uang untuk berdakwah kepada masyarakat di hulu sungai Mahakam. Tak lama kemudian setelah kita menikah, Buletin Ad Dakwah dari Yayasan Al Ishlah Samarinda diantar ke rumah. Ternyata wanita mulia tersebut adalah engkau istriku, bukan wanita tua seperti yang kukira. Melainkan mahasiswi yang aktif mengajar di Taman Al Quran.

Istriku, beruntung aku dapat memilikimu. Sudah beberapa pemuda kaya yang mencoba mendekatimu tetapi selalu kau tolak. Kelembutanmu dan kedudukanmu sebagai putri seorang ulama besar menjadi magnet bagi para pria yang ingin memiliki istri sholehah. Kamu beralasan belum ingin menikah karena mau konsentrasi kuliah. Padahal alasan utamanya adalah kamu masih ragu dengan kesholehan mereka. Ketika Ustadzah Purwinahyu merekomendasika¬n diriku, tanpa banyak tanya kau langsung menerimaku. Hanya karena aku aktif ikut pengajian kau mau menerimaku, tanpa peduli berapa penghasilanku.

Istriku, semua orang mengakui bahwa kau wanita yang tangguh. Jarang seorang wanita bercita-cita memiliki delapan anak sepertimu. Melihatmu seperti melihat wanita Palestina yang berada di Indonesia. Jika bertemu dengan Ustadz Hadi Mulyadi, suami mba Erni ustadzahmu, pasti pertanyaan pertama kepadaku adalah, “ Berapa sekarang anakmu?”. Sering orang bertanya kepadaku, “ Gimana caranya ngurus anak sebanyak itu?” Mudah, rahasianya adalah menikahi wanita yang tangguh sepertimu.

Kehangatanmu membuat anak-anak kita merasa nyaman di dekatmu. Di saat kau lelah sepulang dari mengisi halaqoh atau ta’lim mereka segera menyambutmu dan melepaskan kekangenan mereka. Kadang lucu melihat mereka membuntuti kemana kamu pergi. Kamu ke dapur mereka bergerombol di sekitarmu, pindah ke ruang tamu, pindah pula mereka ke ruang tamu. Masuk ke kamar, berbondong-bond¬ong mereka ke kamar. Sampai ada anak yang selalu memegang-megang¬ bajumu dan kamu berkomentar,” Nih anak kayak prangko aja, nempeeel terus.” Jangan salahkan mereka, akupun memiliki perasaan yang sama dengan mereka.

Kadang jika cintaku meluap aku berkata padamu, ”Bener nih kamu ndak nyantet aku? Aku kok bisa tergila-gila begini sama kamu?” Kamu tersenyum dan berkata, "cinta Umi ke Abi lebih besar dari cinta Abi ke Umi, Abi aja yang ndak tahu.”


Rasulullah bersabda, "Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” (HR. Ahmad). Sungguh aku merasa telah mendapatkan segalanya dengan kau di sisiku.

Kepribadianmu yang mudah bergaul menjadikanmu disenangi oleh banyak orang. Kamal berkata, “Umi terkenal banget di sekolah. Aku, Mba Aisyah, Mas Nashih, Hamidah, Hilma ini terkenal di sekolah karena anak Umi. Guru-guru kenal kami karena kami anak umi.” Aku ingat perjuanganmu menggalang beberapa orang tua murid ke kantor diknas untuk meminta tambahan kelas agar anak kita yang terlalu muda bisa diterima sekolah. Akhirnya SDN 006 Balikpapan mendapat tambahan kelas dan anak kita bisa bersekolah di sana. Seharusnya aku yang melakukan hal itu, bukan kamu.

Aku terpesona dengan caramu menjalin silaturahim dengan keluarga besarmu. Ketika kita pindah ke Balikpapan, sering kakak-kakakmu menelpon menanyakan kapan liburan ke Samarinda. Mereka rindu kepadamu. Kakakmu KH. Fachrudin, seringkali menelpon, "Kita mau ngadain acara ini, kamu ke Samarinda kah?” Sya’rani, kakakmu yang sering bepergian ke Jawa, ketika mendarat di Balikpapan pun sering berkata, "Baru dari Jawa, mau ikut saya sekalian naik mobil ke Samarinda?” Keponakan-kepon¬akanmu pun sering bertanya, “Acil Robiah kapan ke Samarinda?” Jika kita liburan ke Samarinda, maka kemeriahan meledak begitu mendengar suaramu mengucapkan salam. “Wah, Haji Robiah dari Balikpapan.”

Aku kagum dengan semangatmu melaksanakan amanah dakwahmu. Sering kerinduanmu kepada keluargamu tertahan karena ada amanah dakwah yang harus kamu kerjakan. ”Sebenarnya akhir pekan ini keluarga besar kumpul. Ada acara keluarga. Tapi ada halaqoh ini dan majelis talim ini jadi ndak bisa ke Samarinda.” Semoga Allah SWT memasukkanmu ke dalam barisan orang-orang yang berjuang menegakkan agama ini.


Kesibukanmu berdakwah memang menyita waktumu. Tapi aku ridho karena kau tetap komitmen untuk mengurus rumah tangga dengan baik. Aku ridho ketika PKS berdiri, kamu bergabung dan berdakwah bersama mereka. Kulihat kau begitu menikmati hidupmu yang mungkin bagi pandangan sebagian orang sangat melelahkan.

Kamu juga aktif mengisi kajian Siroh Shahabiyah di Radio IDC FM. Ketika engkau ingin berhenti karena hamil dan mengajukan ustadzah lain, mba Irna yang mengasuh acara menolak dan mengatakan sebaiknya cuti saja dan sementara akan diputar ulang rekaman yang terdahulu. Saya tahu mereka pun telah jatuh cinta kepadamu.

Saat Ustadz Cahyadi mengadakan pelatihan keluarga, beliau meminta para peserta menulis tentang pasangannya. Aku terkejut ternyata engkau mengenaliku dengan baik. Engkau tahu makanan yang kusukai dan kubenci, teman-teman yang kuanggap shahabatku, karakter-karakt-erku, dan teman-teman Halaqohku. Diam-diam engkau memperhatikanku¬. Terimakasih telah memahami diriku.

Pernah kau mengatakan bahwa kau ingin naik haji bersamaku. Aku mengatakan bahwa kamu sudah naik haji sehingga tidak wajib lagi. Kalau aku punya uang aku akan mengajak anak kita naik haji bukan kamu. Kamu berkata, “Aku akan kumpulkan uang daganganku agar bisa naik haji bersamamu.” Kamu pernah bercerita bahwa saking nikmatnya berada di Kota Mekah, kamu pernah berusaha tukar kloter dengan orang lain agar bisa bertahan lebih lama di kota Mekah.

Istriku, aku suka dengan caramu berbakti kepadaku. Ketika ustadz Muhadi mengajakku mendirikan SDIT Nurul Fikri Balikpapan kau pun mendukungku. Padahal kau tahu bahwa ini akan kembali mengurangi jatah uang belanja untukmu. Bahkan kau berkata, "Aku akan alihkan infaq-infaq yang selama ini ke lembaga zakat ke Nurul Fikri.” Selama ini kau memang menyisihkan uang transport dari mengisi majelis-majelis¬ ta’lim untuk menunjang dakwahmu.

Istriku, aku menikmati sentuhan bibirmu ke pundakku sambil memelukku di saat kita naik motor berdua. Mungkin itu caramu menunjukkan kesetiaanmu. Aku tersanjung dengan gayamu menunjukkan cemburumu. Aku merindukan caramu menegurku jika engkau melihatku lalai dalam urusan agama kita. Aku merasa bahagia saat kau memujiku. Aku merasa hebat ketika engkau bermanja kepadaku.

Aku salut dengan kecintaanmu terhadap ilmu. Setiap ada ta’lim yang mendatangkan ustadz yang berkualitas kau berkata, “Harus duluan nih biar dapat duduk di depan.” Sayang, karena begitu banyaknya anakmu terkadang kau terhambat untuk berada di depan. Pernah kau begitu sedih karena tidak dapat menghadiri ta’lim yang diisi DR. Samiun Jazuli. Terlintas di dalam pikiranku, kelak aku akan membiayaimu untuk melanjutkan kuliah S2 agar kau bahagia.

Kau juga begitu bersemangat mengikuti tatsqif (Kajian Tsaqofah Islam) yang diadakan oleh PKS. Ketika ada ujian tatsqif, kau berusaha mengerjakan soal-soal tanpa berusaha menyontek. Tiba-tiba kau mendengar peserta ujian yang lain di sebelahmu saling berbisik tentang jawaban soal yang engkau tidak bisa mengerjakannya.¬ Kamu pun menulis jawaban tersebut. Sepulang ke rumah engkau begitu menyesal dan gelisah. Engkau merasa berbuat curang karena mengerjakan soal dari mendengar percakapan orang lain. “Gimana nih Mas, aku sudah nyontek?” tanyamu. Aku jawab sambil bercanda, "Telpon dosennya, minta dicoret jawabanmu yang dapat dari hasil mendengar itu”. Ternyata engkau benar-benar menelpon ustadz Fahrur agar jawaban atas soal tersebut dicoret saja. Itu yang sering kulihat darimu, begitu takut akan dosa-dosamu. Aku bangga padamu istriku.

Istriku, hal yang sering membuatku bergetar adalah di saat melihat engkau sholat. Begitu khusyuk dan menjaga adab. Tidak pernah aku melihatmu terburu-buru di dalam sholat. Aku menikmati melihat caramu menghadap Tuhanmu. Selelah apapun dirimu kamu selalu berusaha membaca Quran satu juz perhari. Engkau juga tidak ingin meninggalkan dzikir harianmu. Haru rasanya saat-saat melihatmu tertidur dengan Quran masih berada di tanganmu.

Sering aku berangan-angan aku akan membahagiakanmu¬ kelak saat anak-anak sudah besar. Aku akan mengajakmu berjalan-jalan ke kota wisata. Aku akan membelikanmu perhiasan walaupun sekedarnya. Karaktermu yang tidak pernah meminta memang membuatku lalai memperhatikan kebutuhanmu. Bahkan motor pun tidak pernah kubelikan. Motor butut yang kau pakai adalah motor yang memang telah kau bawa dan kau miliki sejak masih gadis.

Aku yakin bahwa kebersihan hatimulah yang memancarkan aura persahabatan dari wajahmu. Banyak yang mengatakan kepadaku, ”Beliau adalah tempat saya menyampaikan curhat.” Terkadang kau terlambat pulang dari mengisi pengajian, ketika ku tanya kenapa terlambat, kau menjawab, “Kasihan ada yang pingin curhat, jadi dengerin dia dulu. Semoga Allah segera kasih dia jalan keluar.” Saya yakin mereka curhat kepadamu karena mereka merasakan kebaikanmu.

Kamu sering memujiku, “Suami yang pintar”. Kulihat, kamulah yang lebih pintar mengaplikasikan¬ teori ke dalam praktek dunia nyata. Sebenarnya aku banyak belajar darimu. Kamu pintar sekali memulyakan orang lain. Kamu sering memberikan sesuatu kepada tetangga-tetang¬ga kita. Terkadang aku malu karena yang kau berikan adalah hal-hal yang sederhana. “Malu ah ngasih ke tetangga segitu. Nggak level buat mereka.” Ternyata sikap perhatianmu kepada tetangga inilah yang membuat mereka mencintaimu.

Kamu mengatakan kepada pembantu kita, “Kumpulkan teman-teman yang lain, nanti saya yang membimbing bacaan Qurannya.” Dengan sabar kamu melatih mereka membaca Quran. Kau pun membelikan peralatan memasak sebagai hadiah kepada mereka yang lulus dan melanjutkan bacaan ke jilid berikutnya. Pernah kau melihat salah seorang diantara mereka sedang berlatih mandiri di rumahnya. Kau berkata, "Bahagianya aku Bi melihat mereka mau melatih bacaan secara mandiri.” Sampai terucap dari mulut pembantu kita, “Bu, saya ini mendapat hidayah dari tangan Ibu lho.”

Terkadang aku lupa untuk memberikan uang belanja, ketika kutanya engkau menjawab,”Aku pakai uang daganganku”. Kau¬ kadang membelikanku baju sebagai hadiah ulang tahunku. Aku memang seorang yang berprinsip minimalis, terkadang jika ada barang yang menurutmu harus dibeli, aku mengatakan bahwa itu tidak perlu dibeli, kita da’i tidak usah terlalu mengejar kesempurnaan. Seperti biasa kau pun mengalah dan berkata, "Ya sudah pake uang aku aja.”

Ketika engkau mengalami pendarahan saat melahirkan anak kita yang ke delapan, engkau mengalami step. Sungguh hancur hatiku melihatmu menderita. Ketika dokter mengatakan butuh tiga kantung darah, aku segera keluar berlari menuju PMI tanpa sempat mengambil alas kaki. Aku sangat takut kehilangmu. Ketika diberitahu bahwa putra kita telah meninggal, aku sudah tidak peduli lagi, “Tolong selamatkan istri saya dok.” Setelah dioperasi kau sempat tersadar, aku tidak tega untuk mengatakan bahwa putra kita telah meninggal. Aku tidak ingin kau tahu bahwa kandungan yang sangat kau cintai dan sering kau elus-elus dengan penuh cinta telah mendahuluimu.

Dokter mengatakan bahwa kondisi sangat kritis, biasanya kondisi ini berakhir dengan kematian. Dengan kesedihan yang terus mengelayuti aku berkata, ”Umi tidak usah ngomong apa-apa, semua abi yang urus, Umi nyebut Allah saja.” Aku berharap seandainya Allah memanggilmu, maka ucapan terakhirmu adalah Allah. Walau tidak ada suara yang kudengar, kulihat mulutmu menyebut nama Allah dua kali. Saat itu aku bernazar, aku pun bertawashul dengan segala amalku agar Allah memberikan kesempatan agar engkau masih bisa bersamaku. Dan ternyata anak-anak kita bercerita bahwa saat itu di rumah mereka juga bernazar agar ibu mereka selamat.

Dengan sisa harapan yang tersisa di hatiku, aku berusaha membangkitkan semangatmu, ”Cep¬at sembuh, anak-ana¬k kita menunggumu di rumah.” Engkau mengangguk-angg¬uk. Ternyata Allah SWT sangat mencintaimu. Allah SWT ingin memberimu karunia syahid. Kematianmu karena melahirkan putra kita menunjukkan bahwa Allah ingin memberikan yang terbaik untukmu. Sebagaimana Rasulullah mengatakan bahwa wanita yang mati karena melahirkan termasuk orang-orang yang mati syahid.

Seorang shahabatmu, Ustadzah Mahmudah, menelponku, "Mba Robi itu kalau saya perhatikan sangat khusyuk kalau memimpin doa atau mengaminkan doa. Kalau berdoa, saat kalimat wa amitha 'ala syahaadati fii sabiilik (matikanlah jiwa kami dalam syahid di jalan-Mu) sering saya lihat mba Robi meneteskan air mata. Ternyata kita memang tidak boleh meremehkan kekuatan doa.”

Pak Emil tetangga kita berkata, ”Saya tidak pernah berinteraksi dengan almarhumah. Hanya istri saya yang bergaul dengannya. Tapi kepergiannya membuat saya merasa kehilangan sampai dua hari”. Mungkin dia shock karena melihat istrinya terguncang.

Ustadzah Sujarwati berkata, "Saya mengisi pengajian dekat SMPN 10, mereka bercerita bahwa almarhumah ustadzah Robiah yang merintis majelis ta’lim ini. Mereka semua kemudian menangis karena teringat istri sampeyan.” Banyak yang terkejut dengan kepergianmu. Ada yang baru mendengar kematianmu, datang ke rumah untuk kemudian menangis karena kehilanganmu.

Hari kematianmu menjadi saksi atas kesholihanmu. Begitu banyak yang datang untuk memberikan penghormatan kepadamu. Ustadz Muslim mengatakan, "Sahabat-sahabat¬nya dari pesantren Al Amin, Madura sudah siap-siap mau beli tiket untuk ke Balikpapan, tapi mendengar jenazah akan di bawa ke Samarinda mereka tidak jadi datang.” Beberapa ustadz datang dari Samarinda. Bahkan Ustadz Masykur Sarmian, Ketua DPW PKS Kaltim pun datang dari Samarinda dan menjadi imam yang mensholatimu. Aku pun melihat ustadz Cahyadi Takariawan, penulis buku dari Yogya, hadir di masjid itu. Mungkin Allah sengaja mengutus orang-orang sholih tersebut untuk mensholatimu dan menyempurnakan pahalamu. Motor-motor memenuhi jalan masuk ke komplek kita. Seseorang dengan heran mengatakan bahwa kemarin kepala kantor meninggal di komplek ini yang datang nggak sebanyak ini. Ini cuma ibu rumah tangga kok banyak banget yang datang.

Sesudah disholatkan di masjid Balikpapan, engkaupun dibawa ke Samarinda. Sampai di masjid Ar Raudhah, Aku melihat KH. Mushlihuddin, LC Koordinator Qiroati untuk Kalimantan hadir di sana. Kamu sering berkata bahwa kamu sudah menganggap beliau, guru mu membaca Quran, seperti ayah sendiri. Kecintaanmu kepada Quran membuat kamu mencintai beliau yang selalu komitmen berjuang menegakkan Al Quran di muka bumi. Sering kamu mengatakan bahwa kamu kangen dengan gurumu, ustadz Mushlih. Segera aku meminta beliau untuk menjadi imam sholat jenazah untukmu.

Kakakmu, Ibu Mursyidah berkata, ”Kepergiannya persis seperti ayahnya, KH. Abdul Wahab Syahrani. Disholatkan dari masjid ke masjid.” Sebelum meninggal beliau berwashiat untuk dikuburkan di Kotabangun. Karena washiat itu beliau disholatkan di tiga masjid di tiga kota oleh murid-murid beliau. Pertama disholatkan di Islamic Centre Samarinda, kemudian disambut oleh Bupati Kutai Kartanegara (Beliau adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia Kab. Kukar) dan disholatkan di masjid agung Tenggarong, kemudian disholatkan kembali oleh murid-murid beliau di masjid Kotabangun.

Dengan lelehan airmata aku ikut memandikanmu, mengangkatmu, memasukanmu ke liang lahat. Seseorang berkata, "Antum duduk saja biar yang lain saja.” Tidak, Aku tidak mau kehilangan kesempatan ini. Aku sudah kehilangan kesempatan membahagiakanmu¬ di dunia. Aku sudah kehilangan kesempatan membalas dengan baik pelayananmu kepadaku. Biarlah hari ini aku melayanimu walaupun sekedar mengurus jasadmu.

Terimakasih istriku, selama hidupmu kau selalu berusaha tidak merepotkanku. Ketika aku ke bengkel untuk menambal ban, aku mengabarkan kematianmu dan memohon doa untukmu. Tukang tambal ban, mendoakannya dan berkata, "Istri sampeyan sering ke sini sendiri, menuntun sepeda motor untuk menambal ban, atau kadang ganti ban motor”. Sekuat tenaga ku tahan airmataku. Aku tahu sebenarnya itu adalah tugasku. Kubayangkan adakah wanita lain yang mau menuntun motor ke bengkel untuk menambal ban karena tidak ingin merepotkan suaminya.

Mungkin kamu saat ini telah tersenyum bahagia bercanda bersama Abdullah, putra kita. Mungkin kamu sudah bertemu dengan ayah ibumu yang sangat kamu cintai. Walaupun aku betul-betul kehilanganmu, aku tahu bahwa karunia syahid yang Allah SWT berikan kepadamu adalah yang terbaik untukmu.

Istriku, aku menulis ini untuk menumpahkan rindu yang bergejolak di hatiku. Aku juga berharap agar orang yang membacanya mau meringankan lidahnya untuk mendoakanmu. Aku berharap tulisan ini dapat membalas jasamu kepadaku. Sungguh betapa lambatnya hari-hari berlalu tanpamu. Ingin rasanya aku segera masuk ke surga agar dapat bertemu kembali denganmu. Selamat jalan Khadijahku.....

Copas dari blog : http://syamsannisa.blogspot.com/